Entri Populer

Rabu, 23 Februari 2011

Etika Menulis di Media Massa

Ketika rezim Orde Baru berkuasa, kebebasan pers dibungkam. Pemeritah bersikap anti-kritik. Segalanya harus berjalan sesuai keinginan pemerintah―yang direpresentasikan oleh sosok Soeharto. Mereka yang membangkang pasti dibredel aparat. Nasib Tempo, misalnya. Dibredel karena terlalu nyaring “menyalak” pada pemerintah.
Lalu angin perubahan datang. Soeharto jatuh pada Mei 1998. Pers kembali memperoleh kebebasannya. Pilar keempat demokrasi―setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif―ini kembali “menyalak” dan “menggonggong”, sesuai peran awalnya sebagai watch dog. Pers menyampaikan informasi-informasi agar masyarakat bisa mengambil sikap dalam menjaga kemerdekaan serta mengatur diri mereka sendiri
Bagi masyarakat yang ingin menulis di media massa, maka ia harus memperhatikan elemen-elemen jurnalisme. Mengapa? Karena media massa adalah salah satu produk jurnalisme. Isinya tentu harus bersesuaian dengan kaidah jurnalistik. Pada bukunya, Kovach menyebutkan ada sembilan elemen yang harus dipegang, yaitu berpegang pada kebenaran, loyalitas kepada publik, senantiasa melakukan disiplin verifikasi, bersikap independen, berperan sebagai pemantau kekuasaan, menerima kritik dan dukungan, menyajikan informasi secara menarik dan relevan, komprehensif dan profesional, dan bersandar pada hati nurani.
Pengetahuan dan otoritas si penulis menjadi aspek penilaian penting atas kualitas suatu tulisan. Penulis harus memiliki dasar pengetahuan yang kuat tentang apa yang ditulisnya. Hal ini bisa diketahui dari latar belakang pendidikan penulis. Lain halnya dengan otoritas, aspek ini bisa diperkuat, salah satunya dengan menjadi anggota komunitas yang bersesuaian dengan bidang yang hendak dibahas. Oleh karena itu, untuk menilai pengetahuan dan otoritas si penulis, biasanya redaksi akan meminta CV (Curriculum Vitae).
Hal lain yang perlu diperhatikan ketika hendak menulis di media massa adalah keaktualan tema. Membahas masalah-masalah yang sedang hot dan ramai dibicarakan, tentu akan memperbesar peluang sebuah tulisan untuk dimuat di media massa. Cara jitu yang lain, yakni dengan mencermati momentum hari-hari besar.
Bahasa populer merupakan bahasa yang wajib dipakai ketika menulis di media massa. Dasarnya jelas, agar informasi pada tulisan bisa mudah dimengerti oleh masyarakat, tidak membingungkan. Selain itu, akan lebih baik jika ditulis sesuai gaya bahasa yang dipakai media massa tersebut. Sebelum menulis, hendaknya rajin-rajinlah mengobservasi gaya bahasa penulisan media yang akan dikirimi tulisan.
Berkaitan dengan peran pers yang dibahas di awal tulisan ini, masyarakat yang menulis di media massa harus menjiwai semangat dan etika jurnalisme. Ada empat sense yang harus disertakan ketika menulis, yaitu accuracy (keakuratan), responsibility (tanggung jawab), fairness (keadilan), dan honesty (kejujuran) (Dewabrata, Kalimat Jurnalistik, 2006). Jangan sampai isi tulisan menyinggung pihak-pihak lain atau bahkan menuding tanpa disertai bukti. Kasus Refly Harun, misalnya. Ia menulis di harian Kompas dan mengatakan bahwa ada kasus suap di Mahkamah Kostitusi. Hal yang mengundang reaksi keras dari seorang Mahfud MD, sang ketua MK. Mahfud menantang Refly untuk membuktikan tudingannya. Mungkin maksud Refly baik agar MK tetap terjaga citra bersihnya. Namun, cara penyampaiannya dinilai kurang tepat oleh beberapa kalangan. Jika tudingannya tidak terbukti, ia bisa dijerat pasal hukum pencemaran nama baik.
Menulis di media massa ada etikanya sendiri. Sudah sepatutnya para penulis atau calon penulis memerhatikan etika-etika tersebut. Dengan demikian, visi menjadi seorang intelektual publik bisa tercapai.



Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar