Entri Populer

Selasa, 30 November 2010

Tsunami di Mentawai


Korban meninggal akibat gempa dan tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumbar, hingga Senin bertambah menjadi 448 orang. Satu jenazah lagi yang sulit dikenali ditemukan warga Munte Baru-Baru Kecamatan Pagai Utara pada Minggu sore. Hingga kini warga yang masih belum ditemukan sebanyak 56 orang.

Korban luka-luka yang masih dirawat di rumah sakit darurat dan Puskesmas Sikakap tercatat 173 orang luka berat dan 325 orang luka ringan. Sebanyak 15.353 orang masih bertahan di tempat-tempat pengungsian.
Upaya pencarian korban hingga pekan ketiga pascagempa 7,2 SR yang disertai tsunami pada 25 Oktober masih akan tetap dilakukan. Berikut data korban akibat gempa dan tsunami berdasarkan data BPBD Mentawai.
Korban tewas: 448 orang.
Korban hilang: 56 orang
Luka berat: 173 orang
Luka ringan: 325 orang
Pengungsi: 15.353 orang
Perumahan:
Rusak berat: 517 unit
Rusak ringan: 204 unit
Rumah dinas: 4 unit (rusak berat)
Sekolah:
Rusak berat: 6 unit
Fasilitas Umum:
Resort: 2 Unit (Resort Macaroni dan Katiet)
Rumah ibadah: 7 unit (rusak berat)
Jembatan: 7 unit (rusak berat)
Jalan: 8 kilometer (rusak berat)
Kapal Pesiar:
Rusak berat: 1 unit (terbakar)
Rusak ringan: 1 unit
Ketua Umum PMI Jusuf Kalla, dalam siaran persnya yang diterima ANTARA di Jakarta, Selasa, menyatakan bahwa dua pekan pasca bencana tsunami di Mentawai, warga korban bencana masih membutuhkan perhatian intensif. Penanganan korban bencana dalam tahap pemulihan dini, justru butuh perhatian dan bantuan dari banyak pihak. Dalam tahap ini, PMI akan membantu pembangunan rumah hunian sementara untuk warga korban bencana Mentawai.
PMI menargetkan memberikan donasi sebesar Rp 5juta untuk setiap unit rumah warga yang akan dibangun kembali.
Jusuf menegaskan, memasuki tahap pemulihan dini ini, masyarakat korban bencana di Mentawai masih membutuhkan bantuan kira-kira Rp10 milyar sampai Rp15 milyar untuk membangun rumah mereka. Mereka masih dirapatkan dan didiskusikan untuk membahas teknis bantuan pembangunan rumah.
Jadi, untuk pemulihan Mentawai pasca bencana tsunami, pemerintah pusat telah menyediakan anggaran senilai Rp25 miliar melalui BNPB serta di tambah dengan dana APBD provinsi dan Kabupaten Mentawai.
Jika ada kemungkinan melakukan relokasi, tambahnya, agar dilaksanakan dengan sosialisasi dan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat setempat, agar tidak menimbulkan problema dimasa datang.
Langkah yang harus dilakukan, seperti sosialisasi mitigasi bencana, pencerdasan dan penyadaran masyarakat apa-apa yang mesti dilakukan saat terjadi bencana tersebut.
Pendidikan dan membudayakan cara-cara penyelematan diri masing-masing ketika bencana terjadi, menurut Agung, merupakan sebuah upaya yang mesti disegerakan.
Selain itu, pembangunan shelter-shelter serta perumahan masyarakat, gedung dan kantor serta lain-lain hendakanya mengacu pada standar dan kualitasnya yang baik.

Tanah Longsor


Longsor atau sering disebut gerakan tanah adalah suatu peristiwa geologi yang terjadi karena pergerakan masa batuan atau tanah dengan berbagai tipe dan jenis seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. Secara umum kejadian longsor disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor pendorong dan faktor pemicu. Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi material sendiri, sedangkan faktor pemicu adalah faktor yang menyebabkan bergeraknya material tersebut. Meskipun penyebab utama kejadian ini adalah gravitasi yang mempengaruhi suatu lereng yang curam, namun ada pula faktor-faktor lainnya yang turut berpengaruh:
  • erosi yang disebabkan sungai-sungai atau gelombang laut yang menciptakan lereng-lereng yang terlalu curam
  • lereng dari bebatuan dan tanah diperlemah melalui saturasi yang diakibatkan hujan lebat
  • gempa bumi menyebabkan tekanan yang mengakibatkan longsornya lereng-lereng yang lemah
  • gunung berapi menciptakan simpanan debu yang lengang, hujan lebat dan aliran debu-debu
  • getaran dari mesin, lalu lintas, penggunaan bahan-bahan peledak, dan bahkan petir
  • berat yang terlalu berlebihan, misalnya dari berkumpulnya hujan atau salju.
Tanah longsor sendiri merupakan gejala alam yang terjadi di sekitar kawasan pegunungan. Semakin curam kemiringan lereng satu kawasan, semakin besar kemungkinan terjadi longsor. Semua material bumi pada lereng memiliki sebuah "sudut mengaso" atau sudut di mana material ini akan tetap stabil. Bebatuan kering akan tetap di tempatnya hingga kemiringan 30 derajat, akan tetapi tanah yang basah akan mulai meluncur jika sudut lereng lebih dari 1 atau 2 derajat saja.
Longsor terjadi saat lapisan bumi paling atas dan bebatuan terlepas dari bagian utama gunung atau bukit. Hal ini biasanya terjadi karena curah hujan yang tinggi, gempa bumi, atau letusan gunung api. Dalam beberapa kasus, penyebab pastinya tidak diketahui. Longsor dapat terjadi karena patahan alami dan karena faktor cuaca pada tanah dan bebatuan. Kasus ini terutama pada iklim lembab dan panas seperti di Indonesia. Ketika longsor berlangsung lapisan teratas bumi mulai meluncur deras pada lereng dan mengambil momentum dalam luncuran ini, sehingga luncuran akan semakin cepat (sampai sekitar 30 meter/detik). Volume yang besar dari luncuran tanah dan lumpur inilah yang merusak rumah-rumah, menghancurkan bangunan yang kokoh dan menyapu manusia dalam hitungan detik.
Meskipun tanah longsor merupakan gejala alam, beberapa aktifitas manusia bisa menjadi faktor penyebab terjadinya longsor, ketika aktifitas ini beresonansi dengan kerentanan dan kondisi alam yang telah disebutkan. Contoh aktifitas manusia ini adalah penebangan pepohonan secara serampangan di daerah lereng; Penambangan bebatuan, tanah atau barang tambang lain yang menimbulkan ketidakstabilan lereng; Pemompaan dan pengeringan air tanah yang menyebabkan turunnya level air tanah, pengubahan aliran air kanal dari jalur alaminya, kebocoran pada pipa air yang mengubah struktur (termasuk tekanan dalam tanah) dan tingkat kebasahan tanah dan bebatuan (juga daya ikatnya); Pengubahan kemiringan kawasan (seperti pada pembangunan jalan, rel kereta atau bangunan), dan pembebanan berlebihan dari bangunan di kawasan perbukitan.
Para ilmuwan mengkatagorikan tanah longsor sebagai salah satu bencana geologis yang paling bisa diperkirakan. Ada tiga parameter untuk memantau kemungkinan terjadinya perpindahan massa tanah dalam jumlah besar dalam bentuk longsor, yaitu:
1. Keretakan pada tanah adalah ujud yang biasa ditemui pada banyak kasus. Bentuknya bisa konsentris (terpusat seperti lingkaran) atau paralel dan lebarnya beberapa sentimeter dengan panjang beberapa meter, sehingga bisa dibedakan dari retakan biasa. Formasi retakan dan ukurannya yang makin lebar merupakan parameter ukur umum semakin dekatnya waktu longsor.
2. Penampakan runtuhnya bagian-bagian tanah dalam jumlah besar;
3. Selanjutnya kejadian longsor di satu tempat menjadi parameter kawasan tanah longsor lebih luas lagi. Perubahan-perubahan ini seiring waktu mengindikasikan dua hal: kerusakan lingkungan (misalnya penggundulan hutan dan perubahan cuaca secara ekstrim) dan menjadi tanda-tanda penting bahwa telah terjadi penurunan kualitas landskap dan ekosistem.
PENYEBAB TANAH LONGSOR
Bintang memang sampai detik ini belum pernah mengalami bencana tanah longsor. Karena tempat tinggal bintang memang sepertinya tidak memungkinkan hal itu terjadi, kecuali jika penyebabnya adalah gempa yang suangat Hebat. Dan berikut artikel lebih lengkap tentang  Penyebab dari tanah longsor baik di indonesia maupun dunia. Bencana tanah longsor ini dapat terjadi jika gaya pendorong pada lereng lebih besar dari gaya penahan.Gaya pendorong diakibatkan oleh oleh besarnya sudut kemiringan lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan. Sedangkan penyebab gaya penahan adalah kekuatan batuan dan kepadatan tanah.
Ini semua dimulai saat musim kering yang panjang, pada saat itu terjadi penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Akibatnya terjadi rongga-rongga dalam tanah yang kemudian disusul adanya retakan dan rekahan di dalam tanah.
Di indonesia biasanya bencana tanah longsor terjadi pada bulan november. Tahu sendirikan di bulan itu intensitas curah hujan meningkat. Melalui tanah yang merekah pada musing kering itu, air hujan akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral.

KORUPSI YANG TERJADI DI INDONESIA


Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah.
Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia.
Pemberantasan korupsi di Indonesia
Pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Orde Lama
Antara 1951 - 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI.
Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil.
Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur.
Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad.

Orde Baru

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.

Era Reformasi

Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.